Labels

Saturday, October 26, 2013

'Bur Gayo' Pendakian Tersantai di Aceh Tengah

Bur dalam bahasa Gayo berarti gunung, Bur Gayo atau biasa disebut Burni Gayo (Gunungnya Gayo) merupakan salah satu gunung di antara barisan-barisan gunung lainnya yang mengelilingi dataran Tanah Gayo. Saat ini gunung tersebut sangat mudah dikenali karena sudah ada jalan aspal menuju bagian atasnya, serta terdapat tulisan “GAYO HIGHLAND” yang menurut saya kini menjadi salah satu ‘icon’ kota Takengon, meskipun kondisinya saat ini sudah mulai rusak karena kurangnya perawatan.

Tulisan 'Gayo Highland' sebagai penanda kita berada di kawasan Tanah Gayo

Ketika saya masih SMP, gunung ini cukup digemari untuk didaki oleh masyarakat Takengon, karena hampir setiap hari saya melihat orang yang naik-turun gunung tersebut, termasuk saya beserta keluarga. Jaraknya yang tidak jauh dari pusat kota, serta tidak terlalu tinggi untuk didaki. Hanya dalam waktu 30-45 menit dan dengan berjalan santai, kita dapat menjangkau puncak Burni Gayo. Selain itu, apabila kita menelusuri hingga ke belakang gunung, pada bagian kaki gunung, kita akan bertemu langsung  dengan Danau Laut Tawar. 

 


Hal ini yang sering kali saya lakukan bersama keluarga maupun teman-teman sekolah saya. Kami menaiki Bur Gayo dengan membawa bekal secukupnya, setelah itu menyusuri gunung hingga bertemu dengan danau dan akhirnya tujuan akhir kami adalah berenang dan menikmati keindahan Danau Laut Tawar. Akan tetapi, kepamoran Bur Gayo sepertinya kini mulai berkurang. Tidak ada lagi lalu lalang orang yang menaiki gunung seperti dulu. Hingga akhirnya saya mencoba untuk mendaki bersama kakak saya akhir Januari 2012 kemarin untuk melihat jalur setapak yang dulu biasanya digunakan para pendaki. Jalur yang dulu digunakan sepertinya sudah tertutup oleh rumput liar, sehingga akhirnya kami menggunakan jalur yang biasa dilewati kerbau (terlihat dari kotoran kerbau yang banyak ditemukan) untuk jalur kami menuruni gunung.


mentari pagi yang dapat dinikmati dari atas Bur Gayo



Sebuah Kisah Kecil dari Danau Laut Tawar

Danau terluas di daerah Aceh dapat ditemukan di kota Takengon. Danau ini bernama Danau Laut Tawar (atau biasa disebut dengan Danau Lut Tawar). Danau ini kira-kira memiliki luas  5.472 ha, dengan panjang 17 km, dan lebar 3.219 km. Danau ini terletak berdekatan dengan pusat kota Takengon, sehingga tidak jarang dijadikan tempat wisata ketika hari libur tiba.

 
Pemandangan Danau Laut Tawar

Danau inilah yang menjadi saksi pertumbuhan saya. Di danau ini saya belajar berenang, belajar mencintai air, dan belajar untuk bertahan di dalam air. Berhubung kota Takengon tidak memiliki fasilitas kolam renang (pada saat saya kecil), maka kedua orangtua saya mengajarkan saya beserta kakak-kakak saya untuk melatih kemampuan kami di danau ini. Entah kenapa renang menjadi salah satu kemampuan yang harus kami miliki dan hal ini berlaku untuk keluarga besar saya. Meskipun dulu renang yang diajarkan kepada kami tanpa teknik yang seharusnya, tapi kemampuan ini yang menjadi bekal saya beserta kakak saya untuk mengenal dunia diving.

Danau Laut Tawar
Berbicara mengenai Danau Laut Tawar, salah satu ikan endemik yang terdapat di danau ini adalah ikan depik (Rasbora tawarensis). Ikan ini hanya ditemukan di Danau Laut Tawar dan keberadaan ikan ini mulai terancam dikarenakan populasinya yang semakin berkurang. Ikan ini biasa dijual basah dan kering, dan umumnya dimasak menjadi pengat, masam jeng (masakan khas dari Tanah Gayo), digoreng kering atau dicampurkan dengan jenis masakan lainnya.

Tuesday, October 8, 2013

'Takengon' Kota Kecil di Tengah Pengunungan

Takengon, sebuah kota kecil yang terletak di tengah provinsi Aceh. Kota ini merupakan salah satu ibukota kabupaten, tepatnya kabupaten Aceh Tengah yang biasanya disebut juga sebagai Tanah Gayo (termasuk kab. Bener Meriah). 
Bagi saya pesona serta ketenangan yang diberikan oleh kota ini selalu mampu membuat saya untuk kembali pulang ke rumah. Yapp, kota ini merupakan tempat dimana saya dilahiran dan dibesarkan, mungkin lebih tepatnya disebut sebagai kampung halaman. Dengan keindahan alam yang ditawarkan, serta kebudayaan dan keramahtamahan penduduknya, Takengon mampu memberikan rasa kenyamanan bagi siapapun yang berkunjung ke kota ini. Menilik kembali kepada asalnya, berdasarkan cerita dari orang tua jaman dulu, ada yang mengatakan bahwa Takengon berasal dari kata “tekongan” yang dalam bahasa Gayo (bahasa asli daerah Takengon) artinya “berbelok”. Mungkin berbelok yang dimaksudkan disini adalah perjalanan yang ditempuh untuk menuju kota ini harus melewati perjalanan menembus pegunungan yang berliku-liku. Selain itu, ada pula yang menyebutkan bahwa Takengon berasal dari kata “ntah kite engon”, yang artinya “mari kita lihat”. Apabila dicermati, makna ini seakan-akan mengajak kita untuk melihat Takengon dan menikmati keindahan yang ditawarkan dari sebuah kota kecil yang dikelilingi pegunungan ini.  

Pemandangan Kota Takengon dilihat dari atas Bur Gayo
   
Suhu udara yang sejuk dengan temperatur berkisar antara 16-27 derajat Celcius memastikan siapapun yang keluar di pagi hari harus mengenakan jaket atau pakaian tebal lainnya. Meskipun saya berasal dari kota ini, tetapi dalam setiap kesempatan kembali pulang, saya harus selalu berhadapan dengan flu dan dinginnya air yang terasa seperti dicampur dengan es. 

Posisi Kota yang berdampingan langsung dengan Danau Lut Tawar
Terima kasih kepada Sang Maha Pencipta yang telah memberikan keindahan luar biasa bagi kota kecil ini. Saya bangga dibesarkan di kota ini dan dari sinilah semua perjalanan hidup saya di mulai.